Henyk Nur Widaryanti
KABAR gembira bagi rakyat Indonesia. Mahkamah Agung (MA) membatalkan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Pembatalan ini setelah adanya pengajuan judicial review oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) terhadap Peraturan Presiden Nomor 75/2019 tentang Jaminan Kesehatan.

MA menyatakan bahwa pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres Jaminan Kesehatan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Selain itu, pasal tersebut dinilai bertentangan dengan sejumlah undang-undang. Sehingga iuran BPJS yang sebelumnya telah dinaikkan per 1 Januari, setelah putusan ini akan dikembalikan pada iuran semula.

Keputusan ini tentunya menjadi pukulan berat bagi pemerintah. Pasalnya, di tahun 2019 saja BPJS dinyatakan defisit Rp 13 triliun. Untuk menutupi kekurangan itu, maka dibuatlah aturan Perpres ini. Namun, bagaimana nasib jaminan kesehatan selanjutnya? Akankah bisa menutupi defisit anggaran ini?

Berbicara masalah defisit, ini adalah tantangan berat Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Dalam wawancaranya ibu menteri menyampaikan pembatalan tersebut berdampak pada keuangan BPJS dan kelangsungan penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Menteri Keuangan tersebut melanjutkan bahwa kondisi ini pasti akan merubah seluruh keadaan. Pemerintah tidak bisa secara terus-menerus menutupi anggaran yang defisit. Oleh karena itu diperlukan gotong royong dari seluruh pihak. Karena menurutnya ada 96,8 juta rakyat miskin yang dianggap tidak mampu.

Lebih dari itu, saat ini pemerintah masih mempelajari isi keputusan MA. Dan mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Serta merencanakan tindak lanjut untuk menutup defisit anggaran ini.

Rakyat Tetap Ngeluh

Menjadi seorang rakyat jelata tentu sangat bingung dengan kondisi ini. Kalau saja boleh jujur, sebelum iuran BPJS ini dinaikkan. Rakyat sudah merasakan kesusahan. Setiap bulan mereka harus menyisihkan uangnya untuk bayar BPJS. Kalau dalam satu KK hanya satu orang mungkin tak masalah.  Tapi biasanya dalam 1 KK ada 4 orang. Kalau kelas 1 sudah Rp 320 ribu,, kelas 2 sebesar Rp. 204 ribu, dan kelas 3 Rp. 102 ribu.

Jika mengikuti standar garis kemiskinan di negeri ini, masyarakat dikatakan miskin jika pendapatannya kurang dari Rp. 401.220 perbulan. Jadi jika pendapatannya Rp. 500.000 perbulan sudah tidak bisa dikatakan miskin. Paling tidak jika daftar BPJS masuk kelas 3. Dengan pendapatan segitu, setiap bulan harus mengeluarkan uang Rp. 102 ribu itu cukup berat. Makanya tidak heran jika banyak peserta BPJS yang sengaja tidak bayar tiap bulannya.

Mengambil Alih Hak Kita

Sudah bisa dipastikan, dengan ditolaknya kenaikan iuran BPJS ini. Pemerintah akan kelimpungan mencari solusi defisit anggaran BPJS. Jika hanya mengandalkan APBN, nol busyit. Tak mungkin bisa bertahan lama. Mau pinjam dari teman asing atau badan kesehatan dunia? Kok ya nemen, utang kita hingga Januari 2020 sebesar Rp. 4.817,5 triliun. Masih berani utang?

Atau mau menaikkan pendapatan. Sumber APBN paling besar berasal dari pajak. Rakyat benar-benar sudah terhimpit dengan pajak, masih mau diperas lagi agar bisa ditarik pajak? Bisa jadi akan tambah bingung lagi. Pendapatan lainnya dengan memaksimalkan program Woderfull Indonesian. Dengan menggenjot program wisata diharapkan bisa mendapat pemasukan yang banyak. Pertanyaannya mampukah penghasilan dari pariwisata menutupi defisit anggaran? Sedang untuk bayar utang dan bunganya saja masih tersengal.

Tarik Milik Kita

Masih ingat pelajaran saat Sekolah Dasar (SD) dulu? Negeri kita memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Sumber Daya Alam (SDA) tersimpan di dalam lautan maupun daratan. Bahkan kita memiliki gunung emas yang terkenal. Penghasil minyak bumi. Apalagi gas alam yang cukup besar pula. Tidak hanya itu, kekayaan lautan membuat setiap orang terpana. Bahkan banyak negara asing yang mengambil ikan di perairan nusantara.

Sayangnya, banyak dari kekayaan alam itu tak dikelola sendiri. Kebanyakan dikuasai asing. Sebut saja blok Cepu, blok Tangguh, blok Freeport, Blok Natuna, Tembagapura dan tempat lainnya yang masih banyak.

Jika semua kekayaan ini diminta 100 persen ke tangan kita. Dikelola oleh anak negeri. Dan dipakai semuanya untuk kebutuhan rakyat, dijamin dapat memenuhi seluruh defisit anggaran BPJS. Bahkan bisa membayar utang yang triliunan. Dengan berjalannya waktu dipastikan rakyat tak perlu lagi membayar BPJS. Karena sudah dibiayai pemerintah dari uang hasil pengelolaan SDA.

Memang, untuk merebut kembali semua SDA yang dikelola asing tidaklah mudah. Apalagi negeri ini sudah terlanjur bervisi menarik investor sebanyak-banyaknya. Maka, diperlukan kebijakan yang kompleks untuk mewujudkan mimpi Indonesia bebas utang dan defisit negeri. Indonesia perlu menjadi negara yang independen. Punya pendirian sendiri. Dan perlu garang menghadapi seluruh negara yang menjadi musuh dalam selimut. Wallahu a'lam.

(Dosen Universitas Soerjo Ngawi.)

0Komentar

Sebelumnya Selanjutnya