GELORA.CO - Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja menuai kontroversi di kalangan masyarakat, terutama kaum buruh. Selain buruh, sejumlah anggota dewan dan praktisi hukum juga ikut mengkritisi RUU tersebut.

Direktur Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Salamuddin Daeng menyebut, sedikitnya ada tiga permasalah utama terkait undang-undang yang berlaku di Indonesia saat ini.

“Jadi sebetulnya, memang kalau dilihat, UU di Indonesia ini ada tiga problem utama. Satu, UU ini berbenturan dengan UUD 45. Baik itu semangat cita-citanya, visi misinya, sampai teknis-teknis pelaksanaan itu bertentangan dengan UUD 45,” ujar Salamuddin kepada Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (11/3).

Kedua, lanjut Salamuddin, UU di Indonesia ini saling berbenturan satu sama lain. Seperti konflik antara UU Kehutanan dan UU Pertambangan juga UU migas. Lalu UU Investasi dengan UU Lingkungan.

Yang ketiga, UU di Indonesia juga berbenturan di antara lembaga-lembaga lainnya. Karena, setiap lahir UU, selalu diikuti oleh lahirnya lembaga-lembaga.

“Misalnya BI dengan OJK, ya lembaga-lembaga independen maupun lembaga-lembaga di pemerintahan sendiri berbenturan satu sama lainnya. Termasuk berbenturan dengan pemerintah daerah, dengan UU otonomi daerah. Itu terjadi dalam proses UU di Indonesia,” jelasnya.

Untuk jalan keluar masalah tersebut, kata Salamuddin, tidak bisa diselesaikan dengan satu undang-undang seperti Omnibus Law. Namun, harus merujuk kepada undang-undang yang lebih tinggi, misalnya GBHN.

Itu (Omnibus Law) menurut saya salah langkah, dan salah mapping. Karena enggak gampang menyelesaikan dengan satu UU. Dia harus diselesaikan oleh satu peraturan yang lebih tinggi. Namanya bisa UUD, bisa TAP MPR, bisa GBHN," urai Salamuddin.

"Jadi UU yang lebih tinggi ini yang mengeksekusi, atau regulasi yang lebih tinggi yang mengeksekusi masalah-masalah yang terjadi di dalam UU. Dan spiritnya itu tidak boleh melanggar UUD 45,” tandasnya.(rmol)

0Komentar

Sebelumnya Selanjutnya